Juara II Pemuda Pelopor Nasional, Kadek Angga Wahyu Pradana

3 weeks ago 6
ARTICLE AD BOX
Dihubungi via telepon, Kamis (10/10) Angga mengatakan dirinya terpilih sebagai wakil Bali setelah mengikuti tahapan seleksi yang cukup panjang, mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi hingga lolos ke nasional. Anak kedua dari empat bersaudara ini selain sebagai pelaku seni, terpilih karena aktivitas kepeloporannya di bidang seni dan tradisi sudah terbukti nyata.

Buah cinta pasangan Ketut Ardana dengan Ni Made Dasni ini adalah pendiri Yayasan Seni Wahyu Semara Shanti. Tamatan Magister Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini sudah berkecimpung di bidang seni karawitan sejak SD. Dia sering ikut ayahnya anggota sekaa gong tampil di sejumlah tempat. Karena gemar dan suka dengan seni gamelan, Angga memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMKN 3 Sukawati yang dikenal dengan Kokar Bali. Lalu memperdalam ilmunya di ISI Denpasar mengambil S1 Jurusan Seni Karawitan dan S2 Pengkajian Seni Karawitan.

Pada tahun 2015, Angga membulatkan tekadnya membentuk Yayasan Seni, berawal dari komunitas dan sanggar seni. Hingga akhirnya mendapatkan legalitas menjadi yayasan seni yang sudah memiliki 400 orang siswa yang ikut dalam kelas tari dan tabuh. Awalnya Angga mewakili Bali bersama 4 perwakilan pemuda pelopor di bidang lainnya. Namun yang lolos ke babak grand final hanya Angga seorang. Di bidang lomba Seni Budaya dia menghadapi lawan tangguh perwakilan dari DI Jogjakarta dan DKI Jakarta.

“Sebelum grand final juri sudah melakukan penilaian langsung melihat aktivitas kepeloporan yang sudah saya lakukan di keseharian. Nah, saat final di Jakarta saya mempresentasikan revitalisasi gending lelonggoran yang merupakan ciri khas Buleleng,” terang pemuda kelahiran 28 Maret 1998 ini. Alumni SMPN 4 Singaraja ini menyebut memilih merevitalisasi gending lelonggoran dalam karya tulis lomba pemuda pelopor, bukan tanpa alasan. Menurutnya gending lelonggoran dalam tabuh gong kebyar ini merupakan ciri khas gending yang dibawakan sekaa gong setiap kali mengiringi upacara agama.

Hanya saja belakangan ini, gending lelonggoran semakin jarang terdengar. Angga menemukan salah satu penyebabnya, salah satunya generasi muda yang menekuni seni karawitan cenderung malas mempelajari gending lelonggoran. Mereka beralasan gendingnya sangat sederhana dan temponya jauh lebih lembut dibandingkan gending gong kebyar Buleleng yang terkenal keras dan tempo yang cepat.

“Saya sempat tanya adik-adik mereka kurang tertarik mempelajari dan membawakan gending lelonggoran ini, karena terlalu sederhana sehingga mengantuk jika memainkannya. Persoalan ini membuat saya jengah sehingga merevitalisasi tanpa mengubah pakem. Harapannya bisa menarik minat anak-anak mempelajari gending lelonggoran ini,” jelas Angga yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.

Sementara itu dalam kesibukannya berkesenian dan sebagai dosen, yayasannya kini bekerja sama dengan sejumlah lembaga. Di antaranya sebuah asosiasi asal Jerman yang memfasilitasi wisatawan mancanegara belajar kesenian Bali. Mereka datang setiap minggu ke yayasan milik Angga. Selain juga kerja sama dengan STAHN Mpu Kuturan, SMKN 1 Sukasada dalam berbagi metode pembelajaran karawitan.

“Saya punya angan-angan bagaimana memajukan kesenian Buleleng. Karena potensi Buleleng di bidang kesenian sangat besar. Buleleng punya banyak maestro seni bahkan kesenian gong kebyar itu lahir di Buleleng. Saya terus terang jengah mendengar kalau ada yang mengatakan seni yang bagus itu yang versi Bali Selatan, padahal Buleleng pun bisa hanya orang yang maintenance-nya tidak ada,” terang pemuda 26 tahun ini. Dia pun meyakini kesenian di Buleleng semakin bergeliat dengan lebih banyaknya sanggar-sanggar seni, dukungan pemerintah serta minat anak muda untuk ikut berkesenian. Hal ini diyakini Angga menjadi modal utama untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Buleleng dan Bali pada umumnya. 7 k23
Read Entire Article