ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Di tengah bangkitnya perekonomian Bali, Pasar Seni Kuta kembali ramai dikunjungi wisatawan. Namun, di balik geliat aktivitas di lantai dasar, kondisi pedagang di lantai III justru terlihat sepi. Bahkan banyak kios di lantai III tutup dan sejumah pedagang memilih kembalikan kunci kepada pihak pengelola.
Dari total 60 kios yang tersedia di lantai III, hanya 11 kios yang masih beroperasi. Faktor utama yang membuat lantai atas pasar ini sepi adalah kendala akses. Banyak wisatawan, terutama yang berusia lanjut enggan naik ke lantai III karena aksesnya yang hanya tersedia melalui tangga.
Manajer Pasar Seni Kutu Ni Wayan Sri Ika Yadnyasari, mengakui kondisi ini. “Pasar Seni Kuta, astungkara sudah mulai ramai, tapi ramainya hanya di jam-jam tertentu, terutama mulai pukul 15.00 Wita ke atas,” ujarnya pada Rabu (30/10) siang.
Namun, Ika menambahkan meskipun pasar mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, tingkat kunjungan ke lantai yang lebih tinggi, terutama lantai III, masih sangat rendah. Pasar Seni Kuta memiliki tiga lantai, tetapi pengunjung tampaknya lebih tertarik menghabiskan waktu di lantai I. “Merata sih belum, masih mendominasi di lantai I. Kalau di lantai III masih sepi, banyak kios yang kosong,” ungkapnya.
Dari 60 kios yang tersedia di lantai III, hanya 11 kios yang aktif. Semuanya dimiliki oleh krama Desa Adat Kuta. Beberapa pedagang lainnya, terutama yang non-adat telah mengembalikan kunci kios mereka, sebab tidak sanggup lagi melanjutkan usaha karena minimnya pengunjung.
Pedagang di lantai III menghadapi dua tantangan besar, sepinya pengunjung dan beban biaya sewa. Meskipun biaya sewa rendah dibandingkan lantai I, yaitu sebesar Rp 5 juta per tahun, nyatanya hal ini masih belum cukup menarik pedagang baru untuk bertahan. Beberapa kios telah dikosongkan oleh pedagang yang memilih untuk mengembalikan kunci, dengan alasan tidak ada penerus usaha atau karena sulitnya membayar sewa di tengah kondisi yang sepi.
Sementara untuk lantai I diisi dengan kios-kios yang ramai oleh pengunjung, para pedagang di lantai III justru hanya bisa termenung menunggu perubahan. Para wisatawan yang kebanyakan memilih berada di lantai dasar menjadi faktor utama mengapa kios di lantai atas sulit berkembang. Lantai I yang memiliki nilai kontrak sebesar Rp 10 juta per tahun, tetap menjadi area paling diminati. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun harganya lebih tinggi, para pedagang merasa lebih aman beroperasi di lantai bawah karena tingkat kunjungan yang lebih besar. Di sisi lain, lantai II yang memiliki nilai kontrak Rp 7,5 juta per tahun juga masih lebih ramai dibandingkan lantai III.
“Rencana kami akan turunkan pedagang-pedagang yang masih produktif di lantai III untuk bergabung di lantai II, itu terealisasi jika sudah diizinkan dari Jro Bendesa,” kata Ika. 7 ol3