ARTICLE AD BOX
Kita sibuk mengurus turis bertingkah, pemabuk, pabrik narkoba, prostitusi, penyakit kelamin, atau pertikaian dari sekian banyak kasus jual beli dan penguasaan tanah.
Sesungguhnya seluruh persoalan di wilayah Bali berada dalam kuasa tradisi dan aturan-aturan desa adat, karena tak sejengkal tanah pun tidak masuk dalam wilayah adat. Hotel, vila, yang mewah atau penginapan kecil-kecil di wilayah wisata Canggu, Ubud, Kuta, Sanur, Payangan, Amed, Lovina, masuk dalam wewidangan adat. Siapa pun yang berada di wilayah itu sesungguhnya tunduk pada aturan adat setempat.
Semestinya begitu, nyatanya beda. Aturan-aturan terkesan hanya untuk orang Bali, krama adat. Beberapa desa adat membuat aturan (awig) untuk krama tamiu (pendatang), tapi banyak yang mengeluh, krama tamiu hidup enteng, tidak seberat, warga asli. Para turis, wisatawan yang bersenang-senang, tentu juga tamiu, namun mereka hidup jauh lebih bebas. Mereka leluasa berbikini lalu lalang di wilayah desa adat. Bolehkah warga asli berbikini juga melenggang di wilayah desa adat junjungan mereka?
Sebuah wilayah adalah sehamparan tanah. Dan tanah-tanah itu, meliputi hamparan sawah, ladang, kebun, tempat ibadah, pemukiman, adalah wilayah adat. Yang menjadi sumber kecemasan akan pudarnya Bali kini adalah, begitu mudah tanah-tanah berpindah tangan ke orang luar. Tanah-tanah suci, tempat-tempat tenang dan teduh, tanah yang memberi orang-orang Bali jiwa dan harga diri, kini bergolak karena begitu gampang disulap untuk kawasan wisata. Begitu mudah orang datang ke kawasan itu, dengan bermacam tingkah, karena mereka punya banyak uang untuk membayarnya. Orang Bali tinggal menonton, melongo.
Penguasaan tanah oleh pemodal kuat pun kini menjadi kecemasan baru di Bali. Orang menuduh, biang keladi persoalan ini adalah pertumbuhan pariwisata. Ida Bagus Oka (1936-2010) semasa menjabat Gubernur Bali ke-7 (1988-1998) acap mengimbau jangan menjual tanah, cukup dikontrakkan. Anjuran itu ia lontarkan berbarengan dengan kekhawatiran apakah Bali akan tetap Bali lima puluh atau seratus tahun mendatang?
Tapi nyatanya itu cuma imbauan belaka, tak seorang pun peduli. Begitu tanah mahal, dan semakin tinggi harganya karena sodokan pariwisata, orang lebih suka menjualnya, karena dapat duit sangat banyak. Sebagian uang digunakan untuk membeli tanah ke pedalaman dengan harga lebih murah. Selebihnya buat berupacara dan memenuhi gaya hidup. Banyak orang Bali kaya baru tampil naik mobil mewah karena tanah yang mereka warisi laku mahal.
Tanah Bali adalah sebuah rezeki besar. Pantas investor berbondong-bondong datang hendak menguasai seluas-luasnya bumi Bali sejak paruh terakhir tahun 1980-an, ketika boom tanah di Bali Selatan, sepanjang Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Sanur, Ubud, menjadi primadona yang kenes dan sangat merepotkan. Dan kini di Canggu sehamparan tanah tidak semata berarti wilayah, tapi lebih sebagai pabrik uang yang dirogoh dari kocek tebal orang-orang bersenang-senang. Para pemburu tanah itu datang tanpa peduli bahwa tanah bagi orang Bali lebih dari sekadar jiwa raga, merupakan filosofi hidup.
Nasib tanah-tanah di Bali memang memprihatinkan. Masih untung ada sekelompok orang menolak wilayah mereka dikuasai investor. Warga Desa Adat Bugbug di Karangasem antara lain, menolak tanah desa adat mereka disewa investor untuk bisnis wisata. Tapi, banyak yang menyangsikan apakah itu benar murni penolakan, atau karena konflik internal dalam desa adat itu.
Masyarakat Bali kini adalah warga yang sangat sibuk. Mereka, terutama yang lansia, suka mengeluh, hari raya Galungan yang tujuh bulan sekali terasa sangat cepat berulang. “Rasanya baru beberapa minggu lalu kita ngegalung, sekarang datang lagi. Dulu waktu kita kanak-kanak lama amat menunggu Galungan datang,” komentar mereka.
Banyak yang mengaku hari-hari berlalu terasa begitu cepat, upacara-upacara keagamaan pun terasa datang gesit silih berganti, bergilir, berderet-deret. Mereka tahu, itu karena mereka sibuk mencari penghidupan, mengurus sekolah anak, sibuk menyama-braya dalam kehidupan sosial sehari-haril. Seakan tak ada waktu buat diri sendiri.
Mungkin itu sebabnya, mereka tak punya cukup waktu mencermati perubahan-perubahan yang terjadi pada nasib tanah Bali, tempat mereka hidup dan memuja leluhur. Tanpa disadari pula, tergiur menikmati untung dan komisi, mereka ikut-ikutan gesit jadi makelar tanah, mencari pembeli atau investor. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) justru juga ikut menjadi agen jual beli tanah kapling untuk pendatang. Padahal LPD sepantasnya ikut menjaga agar tanah-tanah di wewidangan LPD itu tidak gampang berpindah tangan ke orang luar.
Memang, kalau direnung-renungkan, sedih banget nasib tanah-tanah di Bali. 7